Kategori
Parenting

Anakku Tangguh!

Situasi pertama :
Seorang Ibu meminta izin kepada atasannya untuk menjemput anaknya pulang sekolah.

Atasannya bertanya, “anaknya usia berapa, bu?”
Ibu itu menjawab, “17 tahun, Pak?”
“Sudah besar sekali, apa tidak bisa pulang sendiri?” tanya atasannya lagi.
“Anak saya tidak pernah keluar rumah tanpa saya temani Pak. Dengan teman-temannya pun saya temani” jawab Ibu tersebut.
“Anak Ibu laki-laki atau perempuan?” Atasannya bertanya.
“Laki-laki, Pak” jawab Ibu itu.

Situasi kedua :
Ibu itu tampak sibuk sekali padahal masih pagi. Saya bertanya “Bu, pagi-pagi udah sibuk aja”
“Saya lagi bantu anak saya mengerjakan tugas sekolahnya. Kasihan anak saya, sekolahnya sibuk suka kasih PR berlebih, nanti saya numpang print juga ya diruangan”, jawab Ibu itu.

Rasa-rasanya, saya sebagai Psikolog ingin memberikan seminar panjang lebar tentang pola asuh ^^ tapi niat saya, saya urungkan karena tampak beliau tidak berminat mendengar ceramah saya ~~~

Balik lagi yuk ke postingan Ibuk sebelumnya tentang puisi dari Elly Risman “Jangan mainkan semua peran”.

Kita tidak akan tahu anak kita nanti akan berada dimana, bersama siapa dan dalam kondisi apa. Apakah kita sebagai orangtua akan mampu bersama anak kita terus menerus? Apakah kita sebagai  orangtua akan mampu membantu menyelesaikan masalah anak kita secara terus menerus? Apakah kita mampu hadir di seluruh fase kehidupan anak kita? Jawabannya tentu tidak, kaan?

Pembaca blog Ibuk tentunya pernah dengar IQ, EQ, dan SQ, nah sekarang Ibuk mau bahas tentang AQ.

Sejenis apakah AQ itu?

Menurut Stoltz (dalam Shohib, 2013) AQ atau Adversity Quotient adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan mencapai tujuan. Dengan kata lain AQ adalah kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan rintangan yang dihadapi.

Rasa-rasanya kemampuan ini lebih penting dari IQ, bukan? Sementara orangtua semakin gencar mencari metode untuk meningkatkan IQ anak, tapi lupa dengan yang namanya AQ ini.

Anakku Tangguh Kalau Bisa Menyelesaikan Masalahnya Sendiri

Jadi, biarkan anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Biarkan ia mengikuti semua proses dalam kehidupannya tanpa terlalu banyak tangan orangtua membantu.

Biarkan ia mengikat tali sepatu sendiri,

biarkan ia menyelesaikan puzzlenya sendiri,

biarkan ia mencuci piring makannya sendiri,

biarkan ia mengerjakan tugas sekolahnya sediri,

jika sudah SMA percayakan ia untuk pulang sekolah sendiri,

bukan berarti anak dilepas begitu saja, tetap dipantau, berikan motivasi jika anak sudah tampak menyerah dan lakukan bersama anak, ajarkan bagaimana yang seharusnya jika anak sudah tak mampu lagi mengerjakan tugasnya.

Oleh karenanya, izinkan anak anda melewati semua rintangan  kehidupan. karena sesungguhnya rintangan dalam hidup itu tingkat kesulitannya bertahap.

Level TK tingkat kesulitannya adalah membereskan mainan sendiri, memasukkan bekal ke dalam tas, mengikat tali sepatu.

Level SD tingkat kesulitannya adalah membereskan buku sekolah sesuai jadwal, bangun pagi, mandi sendiri, makan sendiri, mengerjakan PR sendiri.

Level SMP tingkat kesulitannya adalah PR semakin susah, perkelahian dengan teman sebaya, jatuh cinta pada lawan jenis,

terus meningkat tingkat kesulitannya sampailah masuk fase dewasa, ia menikah, berumah tangga hingga masuk fase perkembangan dewasa akhir (lanjut usia).

Apa jadinya jika tidak sedari dini kita melatih anak untuk mandiri dan belajar melewati tantangan hidupnya. Bayangkan jika seorang anak SMP ternyata AQ nya baru selevel anak TK. Bagaimana ia bisa melewati kehidupan rumah tangga yang penuh dengan cobaan dan tantangan ?? Masalah sedikit lapor ke orangtua, bertengkar dikit minta cerai. Anak akan menjadi sosok yang dependensif alias bergantung dengan orang lain, tidak bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, pencemas dan perilaku-perilaku lainnya.

Biarkan ia merasakan kecewa,

Biarkan ia merasakan marah dan kesal,

Biarkan ia merasakan kalah dalam persaingan. Biarkan ia merasakan semua itu

Memang insting utama orangtua adalah melindungi anaknya, tidak ingin membuat anaknya berada dalam kesulitasn dan peran-peran utama orangtua lainnya.

Tapi, rintangan akan selalu ada dekat dengan kita. Bagaimana jika kita sebagai orangtua tidak lagi bisa berada disamping anak? Anak akan rapuh dan mudah menyerah. Jadi, tahan keinginan dan tangan kita untuk segera membantu anak saat ia berada di kesulitan.

Biarkan anak melewati setiap proses kehidupan yang jalannya tak semulus dan secepat jalan tol ^^

Happy parenting buat pembaca setia blog Ibuk. Selamat mencetak pribadi anak yang tangguh!

Gambar diambil dari sini

Oleh Rosdaniar

Penulis merupakan psikolog klinis di salah satu instansi pemerintah. Selain sebagai Psikolog Klinis, penulis merupakan ibu dari dua putri cantik.

2 tanggapan untuk “Anakku Tangguh!”

[…] Jika Ibu sering merasa lelah, sebaiknya diskusikan kepada suami apakah perlu mencari tenaga bantuan dalam merawat anak atau membersihkan rumah. Ibu yang lelah akan mudah marah dan hal itu tentu berimbas pada psikologis anak. Oleh karena itu penting bagi Ibu untuk menjaga kawarasannya dengan cara meluangkan waktu untuk rehat sejenak alias ‘me time’.  Selamat menjalani peran sebagai orangtua dan selamat membentuk generasi-generasi muda yang tangguh! […]

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.